Pengikut

Kamis, 28 Januari 2010

pemanfaatan nuklir


Menunggu rampungnya reaktor fusi

Keputusan pemerintah membangun instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) meng- undang banyak reaksi pro maupun kontra. Reaksi pro memandang masalah mendesaknya ke- butuhan tenaga listrik di Pulau Jawa dan perlunya penguasaan teknologi tinggi oleh bangsa Indonesia sebagai argumen mutlak.

Reaksi kontra melihat bahaya radiasi yang ditimbulkan PLTN, yang mengandalkan reaksi fisi ataupemecahan atom isotop uranium atau U235, menjadi ancaman keselamatan penduduk yang tinggal di sekitar reaktor khususnya, dan umat manusia umumnya. Orang pun lalu bertanya, mungkinkah diciptakan pembangkit listrik yang berdaya setara dengan dayaPLTN, mengguna- kan bahan bakar yang banyak tersedia, dan tidak mengundang bahaya radiasi?

Jawabnya ya, tetapi relatif. Reaktor fusi menawarkan jawaban, namun tidak ada jaminan reak- tor tipe ini akan sama sekali bebas dari masalah radiasi. Reaksi fusi Proses reaksi fusi kebalikan dari reaksi fisi. Seperti arti harafiahnya, proses ini merupakan reaksipenggabungan dua inti menjadi inti lain yang lebih besar disertai satu atau beberapa partikel tambahan. Reaksi ini sama dengan proses pembakaran hidrogen di matahari atau bintang. Sebenarnya, banyak tipe reaksi fusi yang dapat terjadi di matahari yang sering disebut siklusproton-proton, mulai dari pengga- bungan dua inti hidrogen menjadi inti deuterium hingga penggabungan inti deuterium dan inti tritium. Namun, kebanyakan reaksi ini membutuhkan kondisi tertentu, misalnyatekanan sangat tinggi, yang hanya terdapat di dalam inti matahari atau pun bintang. Satu-satunya reaksi fusi yang diyakini dapat digunakan untuk tujuan komersil ialah penggabungan deuterium dan tritium pada kondisi tertentu akan menghasilkan inti helium yang stabil dan sebuah netron yang mem- bawa sebagian besar energi hasil fusi. Banyak masalah yang masih harus dipecahkan sebelum reaktor fusi dapat digunakan secara komersil.Untuk menggabungkan inti deuterium dengan tri- tium, gaya tolak-menolak akibat muatan positif kedua inti harus diatasi. Cara yang paling mungkin adalah dengan menaikkan suhu kedua inti hingga energikinetiknya dapat mengatasi gaya coulomb tadi. Untuk mengatasi gaya ini dibutuhkan suhu sekitar 50 juta derajat celsius. Untuk menaikkan suhu plasma ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain de- ngan memanfaatkan sifat resistensi plasma atau dengan injeksi gelombang radio pada fre- kuensi antara 50 megahertz hingga 100 gigahertz, mirip seperti oven microwave yang dipakai sehari-hari.

Tetapi karena tidak ada material di atas permukaan bumi yang dapat menahan suhu setinggi ini, makadiperlukan teknik supercanggih untuk melokalisir plasma (inti bermuatan yang memi- liki suhu sangat tinggi) pada proses fusi agar tidak bersentuhan dengan instrumen-instrumen reaktor.

Dua cara

Ada dua cara paling efektif untuk melokalisir plasma selama proses fusi berlangsung, yaitu caramagnetis dan cara inersial. Cara pertama dilakukan di dalam instrumen berbentuk seperti donat yang disebut tokamak. Tokamak menggunakan kombinasi dua medan magnet yang sa- ngat kuat, yang dihasilkan oleh superkonduktor, untuk menahan plasma bersuhu sekitar 50 juta derajat celsius agar tetap berada di tengah-tengah "donat" itu. Sebagian besar netron yang dihasilkan dalam proses fusi akan terhambur ke dinding pertama "donat" yang harus dibuat dari material khusus mengingat beban panas yang dialaminya berkisar 10 juta watt per meter kuadrat. Netron yang diserap dinding ini akan melepaskan sebagian besar energinya. Energi inilah yang kelak dipergunakan menggerakkan turbin pembangkit listrik.

Selain itu, dinding ini juga berguna sebagai media untuk proses breeding tritium untuk kembali diinjeksikan ke dalam plasma sebagai bahan bakar. Contoh reaktor tipe ini adalah Tokamak Fusion Test Reactor (TFTR) yang dibangun di Princeton USA, Joint European Torus di Culham Laboratory Oxford Inggris, atau Tokamak JT-60 yang baru dibangun di Jepang. Cara kedua adalah dengan menggunakan target yang memiliki kerapatan sangat tinggi yang ditem- baki dengan puluhan sinar laser terfokus secara simultan. Intensitas sinar laser di sini harus cukup tinggi agar target dapat seketika menguap. Partikel-partikel yang dihasilkan akan berusaha bergerak ke luar sehingga menimbulkan tekanan ke dalam yang sangat dahsyat. Tekanan yang naik secara drastis ini akan mengakibatkan naiknya suhu target yang pada akhirnya dapat menyalakan proses fusi. Sebenarnya, proses ini merupakan bentuk miniatur bom hidrogen. Eksperimen yang menggunakan prinsip inersial, contohnya terdapat di Lawrence Livermore Laboratory, AS, sekitar 20 laser sinkron disusun untuk menghasilkan energi total sebesar 200 kilojoule dalam sepermilyar detik, yang berartidaya sebesar 200 juta megawatt.

Tampaknya problem suhu tinggi sudah dapat diselesaikan para ilmuwan. Meskipun demikian, masih adamasalah cukup pelik yang harus diatasi sebelum reaktor fusi dapat digunakan seba- gai pembangkit tenaga listrik. Pada reaktor konvensional dikenal istilah titik kritis yang me- nentukan kondisi saat mana reaksi fisimulai berlangsung secara terkendali. Reaktor fusi juga memiliki semacam titik kritis yang sering disebut sebagai kriteria Lawson. Kriteria ini menun- tut kerapatan dan lamanya waktu lokalisir plasma pada hargatertentu agar proses fusi dapat berlangsung. Beberapa reaktor test yang ada saat ini sudah hampir mencapai kriteria itu.

Limbah reaktor fusi

Mungkin, pertanyaan serius yang segera diajukan masyarakat jika reaktor fusi jadi dibangun adalah masalah pengolahan limbahnya. Berlainan dengan reaktor fisi, yang bahan bakar maupun unsur hasilreaksi bersifat radioaktif, pada reaktor fusi hanya tritium yang bersifat radioaktif. Selain itu, tritium memiliki waktu paruh sekitar 12 tahun, jauh lebih cepat stabil ketimbang uranium yang waktu paruhnya sekitar 100 juta tahun. Selain itu, tritium akan diproduksi di tempat yang sama melalui proses breeding.

Sumber radioaktif paling serius di sini adalah material instrumen reaktor yang menjadi radio- aktif karenadihujani bom netron, misalnya dinding pertama reaktor yang bertugas menyerap energi netron selama proses fusi berlangsung. Demi keamanan, para ahli di Pemerintah AS mengajukan tiga klasifikasi limbah. Limbah kelas A, terdiridari material yang dapat menca- pai tingkat "cukup aman" setelah disimpan selama tidak lebih 10 tahun. "Cukup aman" disini didefinisikan sebagai tingkat radiasi lima kali lebih tinggi daripada radiasi latarbelakang, yaitu radiasi yang kita terima sehari-hari dari sinar kosmis ataupun sumber radiasi lain seperti pe- sawat TV, komputer, dan lain sebagainya. Limbah kelas B, terdiri dari material yang secara kimiawi stabil dan dapat mencapai tingkatan "cukupaman" dalam waktu 100 tahun. Limbah tipe ini harus diletakkan di tempat yang stabil dan dikubur di kedalaman tertentu sehingga radiasi yang diterima oleh penduduk, yang secara tidak sengaja memasuki lokasi penimbu- nan limbah, hanya beberapa kali lebih besar dari radiasi latar belakang.

Limbah kelas C, seperti limbah kelas B, namun baru dapat mencapai level "cukup aman" dalam kurun waktu tidak lebih dari 500 tahun. Limbah tipe ini harus dikubur sedikitnya lima meter di bawah permukaan bumi. Lokasi penimbunan limbah harus dibatasi dan diberi tanda khusus agar tidak mudahdilalui orang.

nuklir konvensional. Jadi limbah reaktor fusi lebih aman dMaterial yang tidak memenuhi ketiga klasifikasi di atas harus ditangani khusus, sebagaimana penanganan limbahan lebih mudah penanganannya.

0 komentar:

Posting Komentar